Tentang Diriku
yang pasti ini bukan puisi
sekedar diskripsi diri ini
lahir 24 juni, saat mentari sudah beranjak pergi
Tertulis di Akte bernama Rofi,
Anak sepasang suami istri.
Anagugrah dari ILLAHI
Ini bukan prosa
hanya cuplikan kisah nyata
tentang hidup anak manusia
yang selalu ingin berkarya
ini bukan sebuah lagu
hanya seuntai catatan rindu,
pemuda muslim yang lugu
ingin perkaya ilmu
berharap iman istiqomah selalu
ini adalah bait-bait kehidupan
catatan perjalanan–menuju damba kesyahidan
Ketika Kausebut Deraku Di Sabit RembulanKetika pagi itu digelapi kabut dan kau dingin menggelayut, apakah hangatmu menjadi milikku selalu? Pada bisikan yang meresah langkah demi selangkah cahaya fajar membuntuti nasib tak menentu, masih kaukah itu yang berlalu meski sekilas memberi cerah gundahku? Mengiringi riang mentari mencakar-cakar daunan ranggas menjemput keringnya kemarau mendekatkan hasratku terpikat, apakah dengan parasmu melulu?
Tidakkah kautengok elokmu? Selagi berkaca kepada masa, memantul seketika segores lukaku dilecut pedih kehidupan gagal mengisi sekeping piring dengan serantang nasi sayur daun ketela demi berdua. Lalu tetes airmataku mendengar niat puasamu. Dan kausebut deraku di sabit rembulan. Langitnya berbiru aorta menggembungkan darah kepasrahan menahan nyerinya ikhlas. Untuk selalu setia di sisiku.
Pesan Nenekkaukah itu cucuku?
lama tak bertemu, tahu tahu ku sudah sebahumu
masih ingatkah masa kecilmu dulu
saat ayah bunda bekerja sehingga kau dalam asuhanku?
kini kau terlihat dewasa
sudahkah masa sekolahmu purna
atau malah sudah mulai bekerja?
kalau sekolahmu belum purna,
aku hanya bisa berdoa moga kau cepat menyelesaikannya
kalau kau tlah menamatkannya nenek hanya bisa berharap kau bisa segera bekerja
kalau kau telah bekerja, mudah-mudahan nenek ikut ketiban rejekinya.
cucuku, carilah istri yang cantik rupa
yang bisa mengasuh putra-putrinya
yang bisa membalas budi orangtua
yang bisa membuatmu bahagia
lalu sesekali ajaklah ke rumah nenekmu yang tlah renta
biarkan keriput jari ini mengelus halus wajahnya.
Ah, tak terhitung sudah berapa kali nenek mengatakannya.
AYAM DAN COBAAN HIDUP
Pernahkah kita berfikir tentang ayam? Ayam? Memangnya ada apa dengan ayam? Enak dagingnya. Ya. Kalau kita mendengar kata tersebut, yang terlintas dipikiran kita adalah lezatnya daging ayam ketika dipanggang, dibuat sate, opor, atau yang lain. Tetapi ada hal yang menarik untuk kita renungkan berkaitan dengan kehidupan ayam.
Kali ini kita akan membahas mengenai ayam betina. Percaya nggak kalau ayam betina adalah binatang yang paling banyak mendapatkan ujian? Lho.. Coba renungkan kehidupannya.
Semenjak ia lahir di dunia ini, Sang ayah sudah pergi entah ke mana. Ia pun rela menjalani hidup hanya bersama Ibu dan saudara-saudaranya. Beberapa waktu kemudian, tepatnya pada masa remajanya, tiba-tiba sang induk bersikap lain terhadapnya. Biasanya sang induk selalu membantu mencarikan makanan, melindunginya dari musuh, serta menghangatkannya diwaktu tidur. Tetapi kali ini menjadi sangat berbeda. Sang induk seolah-olah menjadi musuhnya. Alih-alih mencarikan makan untuknya, mendekati sang induk saja sudah menjadi hal yang terlarang bagi ayam remaja. Bahkan tidak segan-segan ayam induk melabrak sang ayam remaja untuk menjauhi induk ayam.
Ayam remaja sedih sekali. Dengan sangat terpaksa ia pun menjalani hidupnya tanpa belaian orang tuanya. Beruntung, masih ada saudara yang menemani hari-harinya. Mereka pun hidup berdampingan mencari makan bersama, bermain bersama, serta hidup senasib sepenanggungan.
Namun setelah mereka menjadi dewasa, rasa kasih sayang sesama mereka berangsur angsur luntur. Mereka saling bersaing untuk mendapatkan makanan atau berebut untuk mendapatkan pasangan. Terjadilah perpecahan dan saling memusuhi di antara mereka. Kini, mereka hidup secara sendiri-sendiri. Tidak ada kebersamaan, tidak ada perlindungan.
Pahitnya kehidupan dirasakan oleh ayam betina. Ketika ayam jantan yang tidak dicintai hendak mengawini, ia tidak punya daya untuk menolak. Ia pun pasrah dalam keterpaksaan. Setelah benih ayam jantan lama bersemi di dalam rahimnya, Ayam betina mulai merasakan akan segera melahirkan.
Alangkah kaget hati ayam betina ketika ia menyaksikan apa yang keluar dari rahimnya. Anak yang diharapkan menjadi penerus orang tuanya ternyata berwujud bulat lonjong dan tidak bergerak. Telur. Sama sekali tidak mirip dengan keadaan induknya. Ditambah lagi, Ayam jantan yang selama ini merayunya, kini sudah tidak berada lagi di sampingnya. Ia pergi begitu saja meninggalkan ayam betina dan telur-telurnya. Alangkah sedih hati ayam betina, karena ia harus menanggung hidup anak-anaknya dengan status ‘single parent’. Walau penderitaan cukup berat, tidak ada perasaan putus asa apalagi keinginan untuk bunuh diri
Walaupun begitu, ayam betina tetap menghadapi hidupnya dengan tabah. Ia pun merawat telur-telurnya sebagaimana seorang ibu merawat anaknya. Setiap hari ia rela mengerami telur-telurnya, dan hanya sedikit waktu yang digunakan untuk mencari makan.
Selama ayam betina mengerami telur-telurnya, ada saja pejantan yang hendak merayunya. Namun, setiap kali ada pejantan yang mendekatinya, ayam betina segera memasang kuda-kuda perlawanan. Ia tidak ingin telur-telurnya terlantar sementara ia bersenang-senang dengan pejantan baru. Seolah-oleh ia mengatakan “saya sedang berpuasa”, sehingga pejantan yang mendekatinya segera pergi meninggalkan ayam betina dan telur-telurnya.
21 hari kemudian, keluarlah sosok aneh keluar dari cangkang telur. Sosok yang mirip dengan ayam, punya dua kaki, bersayap, berbulu, dan berparuh.
“Ya, inilah anak-anakku. Inilah ayam yang akan meneruskan perjuanganku.” Begitu kata induk ayam dalam bahasa ayam. Ia pun bersyukur karena apa yang diinginkannya akhirnya terkabul. Anak-anaknya keluar satu per satu dari telur-telur itu. Ia pun kemudian menuntun anak-anaknya keluar dari sarang, dan mengajarinya bagaimana cara mencari makan.
Begitulah perjalanan hidup ayam betina dari waktu ke waktu. Penderitaan dirasakan di sepanjang zaman. Tetapi ada kelebihan yang dimiliki oleh ayam. Ia tidak pernah melawan takdirnya.
Naluri ayam memang lebih rendah dibandingkan dengan akal manusia. Anehnya, manusia sering tidak bisa menerima ketentuan dari-Nya. Manusia sering mengingkari takdirnya—bahwa ia tidak pernah lepas dari cobaan dan ujian. Saudaraku, ujian dari Allah senantiasa mengintai diri kita sebagai bukti keimanan kita. So, tetaplah istiqomah dalam keimanan.